Add me on Google+
Add me on Facebook

KISAH : Cinta Tak Harus Memiliki

Diposting oleh Label: di

  • Kisah 1
Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” ???
Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.
Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan.. Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..

  • Kisah 2
Lelaki ini adalah sebaik-baik raja. 
Pemerintah selepas Khalifah Ali bin Abu Talib… Hatinya bergetar dan ia tahu dia telah jatuh cinta..
Pada seorang muslimah solehah, iaitu rakyatnya sendiri.

Tiada ada yang istimewa pada wanita itu dari segi kecantikannya. Namun itu lah yang membuatnya jatuh cinta.

Maka dengan kekuasaanya ia menikahi wanita itu…

Tapi dia tidak tahu yang dia tak pernah mampu menikahi hati wanita itu.

Wanita itu telah melatakan hatinya pada pemuda desanya….

Hingga di keheningan malam di 1/3 terakhir, terdengarlah olehnya bait-bait puisi dalam lantunan doa…. Tentang kerinduannya pada pemuda desa itu…

Dia sedar. Ini adalah deklarasi jiwa isterinya. “Aku Tak Mencintaimu”

Maka dengan berat hati. Dia menceraikan isterinya.

Lelaki ini adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan. Duta pertama dari Rasulullah SAW yang datang dan melaporkan keadaan Kepulauan Nusantara kepada Nabi SAW
  • Kisah 3
Lelaki ini adalah ideologi Ikhwanul Muslimin. Orang nombor dua yang sangat berpengaruh setelah Hasan Al-Banna, pada harakah itu..

Ia adalah lelaki soleh. Dulu dia pernah jatuh cinta pada gadis desanya. Namun gadis desa itu menikah.. 3 tahun setelah lelaki ini pergi belajar ke luar negeri untuk belajar. Hal ini membuat ia sedih namun ia tidak mahu larut dalam kesedihannya.

Kisah cintanya mulai dari awal lagi. Ia kemudian jatuh hati pada wanita Cairo. Meskipun tidak terlalu cantik, ia tertarik pada gelombang unik yang keluar dari sorot mata wanita tersebut.

Tapi pengakuan bahawa gadis tersebut pernah menjalin cinta dengan lelaki lain, membuat runtuh cinta lelaki ini.

Ia hanya ingin wanita yang benar-benar perawan, baik fizikal mahupun hatinya. Akhirnya ia membatalkan niatnya menikahi gadis tersebut. Hal ini membuat lelaki itu sedih cukup lama….

Sampai kemudian ia putuskan untuk menerima kembali wanita tersebut. Namun apa yang terjadi? Ditolak. Inilah yang kemudian membuat lelaki itu menulis roman-roman kesedihannya.

Yang luar biasa adalah, lelaki ini sedar dirinya berada dalam alam realiti. Bukan dalam dunia ideal yang indah dan ideal.

Kalau cinta tidak mahu menerimanya, biarlah ia mencari sumber kekuatan lain yang lebih hebat dari cinta. “Allah”.

Kekuatan itulah yang kemudian membawanya ke penjara selama 15 tahun. Menulis karya agungya Tafsir “Fi Zilaalil Qur’an”

Dan syahid di tiang gantungan. Sendiri!!! Tidak ada air mata, tidak ada kecupan, tidak ada sentuhan wanita. Benar-benar sendirian!!

Lelaki ini adalah Sayyid Qutb.

Lelaki yang Allah Maha Tahu… Bahawa dirinya lebih dihajatkan langit… Daripada wanita bumi….
Posting Komentar

Back to Top