Add me on Google+
Add me on Facebook

PERAN APIP DALAM MENDUKUNG OPINI WAJAR TANPA PENGECUALIAN

Diposting oleh Label: di



DAFTAR ISI


Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN KARYA TULIS ............................................... ii
KATA PENGHANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang............................................................................. 1
B.       Maksud dan Tujuan .................................................................... 3
C.       Rumusan Masalah ...................................................................... 4
BAB II. PENGAWASAN
A.       Pengertian APIP........................................................................... 5
B.       Maksud dan Tujuan Pengawasan  ............................................... 7
C.       Alternatif Pemecahan Masalah ................................................... 10
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
A.       Kesimpulan ................................................................................ 13
B.       Saran  ......................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................  15
 


BAB I

PENDAHULUAN




A.            LATAR BELAKANG

Salah satu fungsi manajemen yang harus berkontribusi dan memberikan masukan dalam mewujudkan tujuan dan sasaran tata kelola pemerintahan yang baik adalah Pengawasan Internal Pemerintah. Peran pengawas internal sangat strategis karena harus mampu menjamin bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan.
Bahkan, seiring dengan tuntutan perkembangan, pengawasan internal mengalami pergeseran paradigma yang berimplikasi pada meningkatnya peran pengawasan internal.  Pergeseran paradigma tersebut meliputi:
a.       Peran : dari watchdog menjadi konsultan dan katalis;
b.      Fokus pengawasan pada: dari pengeluaran dan pertangungjawaban biaya menjadi proses perbaikan, inovasi an efisiensi;
c.       Pendekatan : dari detektif (mendeteksi masalah) menjadi preventif (mencegah masalah);
d.       Sikap : dari bertindak seperti polisi menjadi sebagai mitra;
e.        Ketaatan : terhadap semua kebjakan bergeser menjadi hanya pada kebijakan yang relevan;
f.       Fokus : kelemahan/penyimpangan menjadi penyelesaian konstruktif;
g.      Komunikasi dengan manajemen : dari terbatas menjadi reguler;
h.      Jenis audit : Financal/compliance audit menjadi Finanial, compliance, operational audit;
i.        Jenjang karir : dari sempit (hanya auditor) menjadi berkembang luas (dapat berkarir di bagian/fungsi lain).

Mencermati pergeseran paradigma tersebut, jika dihadapkan dengan pemerikasaan eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang mengeluarkan pendapat/opini, maka pengawas internal pemerintah mengemban tugas dan tanggung jawab yang sangat berat.
Dalam hal pengawasan, ada  beberapa  kriteria dalam  pemberian suatu opini yaitu:
1.  Efektifitas sistem pengendalian internal.
2.  Kesesuaian  dengan Standar  Akuntansi  Pemerintah;
3.  Kecukupan pengungkapan (disclousure);
4.  Kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan;

Seperti kita ketahui, opini BPK atas pemeriksaan terhadap laporan Keuangan Pemerintah Daerah terdiri dari 4 pendapat (opini) yaitu:
1.  Opini Wajar Tanpa Pengecualian;
2.  Opini Wajar Dengan Pengecualian,;
3.  Opini Tidak Wajar; dan
4.  Pernyataan Tidak Memberikan Pendapat/Disclaimer.

Oleh karena itu, maka pemilihan topik penulisan makalah ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa kondisi faktual tidak selalu selaras dengan amanat regulasi, kesenjangan antara harapan dengan kenyataan,  yang secara spesifik, dapat diuraian sebagai berikut:
1.      Pergeseran paradigma pengawas internal  belum sepenuhnya dapat atau mampu dilaksanaan;
2.      Pelibatan APIP dalam seluruh proses manajemen pemerintahan di daerah;
3.      Sinergitas antara APIP dengan seluruh SKPD dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan;
4.      Ketersediaan sumberdaya pengawasan.

Hal inilah yang melatar belakangi penulis memilih judul “Peran APIP dalam mendukung Opini “Wajar Tanpa Pengecualian”

B.     MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi kewajiban membuat karya ilmiah untuk kejenjang Auditor Madya
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran yang memadai kepada para pihak terkait, tentang arti penting, peran, dan hambatan pengawasan internal dalam mendukung pencapaian opini ”Wajar Tanpa Pengecualian” Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.



C.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang terjadi dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut:
1.      Pergeseran paradigma yang berimplikasi pada peran, fokus pegawasan, pendekatan, ketaatan, komunikasi, dan jenis audit pengawas internal yang semakin besar, masih belum seluruhnya mampu disikapi oleh APIP Inspektorat Daerah mengingat kurangnya sumberdaya dan sarana prasarana pengawasan, serta masih kurangnya komitmen untuk merubah kebiasaan (paradigma) lama. Hal ini kerap kali menjadi kendala APIP dalam menjalankan fungsinya sebagai konsultan dan katalisator bagi organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan;
2.      Belum adanya suatu media sebagai upaya Sinergitas antara APIP dengan seluruh SKPD dalam rangka tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan oleh SKPD dalam pengelolaan keuangan daerah dimulai sejak penyusunan perencanaan penganggaran.















BAB II
PENGAWASAN

A.    PENGERTIAN APIP
Sebagai Aparat “Pengawasan Internal” Pemerintah ( APIP ), “Inspektorat Daerah” memiliki”peran” dan posisi yang sangat strategis baik ditinjau dari aspek fungsi-fungsi manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program-program pemerintah. Dari segi fungsi-fungsi dasar manajemen, ia mempunyai kedudukan yang setara dengan fungsi perencanaan atau fungsi pelaksanaan. Sedangkan dari segi pencapaian visi, misi dan program-program pemerintah,”Inspektorat Daerah” menjadi pilar yang bertugas sebagai “pengawas” sekaligus pengawal dalam pelaksanaan program yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 tahun 2011 tentang Kebijakan “Pengawasan” di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Penyelenggaraan Pemerintahan “Daerah” tahun 2012 pada Point Penajaman “Pengawasan” angka 4 menetapkan perumusan “peran” dari “Inspektorat Daerah” Kabupaten/Kota yaitu melakukan;
a. “Pengawasan” terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di “daerah” kabupaten/kota (urusan wajib dan urusan pilihan) dengan menyusun dan menetapkan kebijakan “pengawasan” di lingkungan Penyelenggaraan pemerintahan “daerah” kabupaten/kota.


b. “Pengawasan” pelaksanaan urusan pemerintahan desa dengan ruang lingkup:
a)      “Pengawasan” pada Pemerintah Desa;
b)      “Pengawasan” pelaksanaan tugas pembantuan di Kabupaten/Kota; dan
c)      Pemeriksaan khusus terkait dengan adanya pengaduan.
Pembinaan di lingkungan Penyelenggaraan pemerintahan “daerah” Kabupaten/Kota dan Desa, dengan ruang lingkup: 
1) Pendampingan/asistensi meliputi:
a)      Asistensi dalam penyusunan neraca aset pada unit kerja di lingkungan Penyelenggaraan pemerintahan”daerah” Kabupaten/Kota dan Desa; dan
b)      Asistensi penerapan SPIP di lingkungan Penyelenggaraan Pemerintahan “Daerah”Kabupaten/Kota.
 2) Koordinasi dan sinergitas terhadap:
a)      Pelaksanaan Rakorwasnas dan Rakorwasda;
b)      Penyusunan Program Kerja “Pengawasan” Tahunan (PKPT) berdasarkan risk based audit plan; dan
c)      Pemantauan Tindak Lanjut Hasil “Pengawasan”.
“Pengawasan” pada hakekatnya merupakan fungsi yang melekat pada seorang leader atau top manajemen dalam setiap organisasi, sejalan dengan fungs-fungsii dasar manajemen lainnya yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Demikian halnya dalam organisasi pemerintah, fungsi “pengawasan”merupakan tugas dan tanggung jawab seorang kepala pemerintahan, seperti di lingkup pemerintah provinsi merupakan tugas dan tanggung jawab Gubernur sedangkan di pemerintah kabupaten dan kota merupakan tugas dan tanggung jawab Bupati dan Walikota. Namun karena katerbatasan kemampuan seseorang, mengikuti prinsip-prinsip organisasi, maka tugas dan tanggung jawab pimpinan tersebut diserahkan kepada pembantunya yang mengikuti alur distribution of power sebagaimana yang diajarkan dalam teori-teori organisasi modern.

B.     MAKSUD DAN TUJUAN PENGAWASAN
Maksud “pengawasan” itu dalam rumusan yang sederhana adalah untuk memahami dan menemukan apa yang salah demi perbaikan di masa mendatang. Hal itu sebetulnya sudah disadari oleh semua pihak baik yang mengawasi maupun pihak yang diawasi termasuk masyarakat awam.
Sedangkan tujuan “pengawasan” itu adalah untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government), Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan dorongan arus reformasi ditambah lagi dengan semakin kritisnya masyarakat dewasa ini, maka rumusan”pengawasan” yang sederhana itu tidaklah cukup dan masyarakat mengharapkan lebih dari sekedar memperbaiki atau mengoreksi kesalahan untuk perbaikan di masa datang, melainkan terhadap kesalahan, kekeliruan apalagi penyelewengan yang telah terjadi tidak hanya sekedar dikoreksi dan diperbaiki akan tetapi harus diminta pertanggungjawaban kepada yang bersalah. Kesalahan harus ditebus dengan sanksi/hukuman, dan  bila memenuhi unsur tindak pidana harus diproses oleh aparat penegak hukum, sehingga membuat efek jera bagi pelaku dan orang lain berpikir seribu kali untuk melakukan hal yang sama, sehingga praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi berkurang dan akhirnya hilang. Hal seperti itulah yang menjadi cita-cita dan semangat bangsa Indonesia yang tercermin dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Salah satu tuntutan masyarakat untuk menciptakan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan “daerah” adalah kiprah institusi “pengawas daerah”. Sehingga masyarakat bertanya dimana dan kemana lembaga itu, sementara korupsi merajalela. Masyarakat sudah gerah melihat perilaku birokrasi korup, yang semakin hari bukannya kian berkurang tetapi semakin unjuk gigi dengan perbuatannya itu. Bahkan masyarakat memberi label perbuatan korupsi itu sebagai kejahatan yang “luar biasa“, dan biadab, karena diyakini hal itu akan menyengsarakan generasi di belakang hari. Sampai-sampai masyarakat berfikir untuk membubarkan institusi “pengawas daerah” tersebut karena dinilai tidak ada gunanya, bahkan ikut menyengsarakan rakyat dengan menggunakan uang rakyat dalam jumlah yang relatif tidak sedikit.
Secara naluri kegerahan masyarakat itu sebetulnya dapat dipahami, namun berbicara tentang”pengawasan” sebenarnya bukanlah tanggung jawab institusi “pengawas” semata melainkan tanggung jawab semua aparatur pemerintah dan masyarakat pada semua elemen. Karena sebetulnya institusi “pengawas” seperti “Inspektorat Daerah”, bukannya berdiam diri, tidak berbuat, tidak  inovatif, adem dan sebagainya. Tetapi jauh dari anggapan itu, insan-insan “pengawas” di “daerah”telah bertindak sejalan dengan apa yang dipikirkan masyarakat itu sendiri. Langkah pro aktif menuju”pengawasan” yang efektif dan efisien dalam memenuhi tuntutan itu telah dilakukan seperti melakukan reorganisasi, perbaikan sistem, pembuatan pedoman dan sebagainya, namun kondisinya sedang berproses dan hasilnya belum signifikan dan terwujud seperti yang diinginkan oleh masyarakat tersebut. Guna mewujudkan keinginan tersebut diperlukan langkah-langkah pragmatis yang lebih realistis dan sistematis dalam penempatan sumberdaya manusia pada lembaga “pengawas daerah”, mulai dari pimpinannya sampai kepada staf/pejabat yang membantu dan memberikan dukungan untuk kesuksesan seorang pimpinan lembaga “pengawas” tersebut. Seorang pimpinan organisasi akan memberikan pewarnaan terhadap organisasi tersebut, dan ia akan berfungsi sebagai katalisator dalam organisasinya, sehingga untuk itu ia harus punya integritas, moralitas dan kapabilitas serta kompetensi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.  Sehingga dengan demikian, tugas”pengawasan” yang dilaksanakan merupakan bagian dari solusi, dan bukan bagian dari masalah.
“Inspektorat Daerah” sebagai Aparat”Pengawasan Internal” Pemerintah berperan sebagai Quality Assurance yaitu menjamin bahwa suatu kegiatan dapat berjalan secara efisien, efektif dan sesuai dengan aturannya dalam mencapai tujuan organisasi. Titik berat pelaksanaan tugas”pengawasan”nya adalah melakukan tindakan preventif yaitu mencegah terjadinya kesalahan kesalahan dalam pelaksanaan program dan kegiatan oleh Satuan Kerja Pemerintah “Daerah” (SKPD) serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah terjadi untuk dijadikan pelajaran agar kesalahan-kesalahan tersebut tidak terulang di masa yang akan datang.
C.    ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Berbagai regulasi pengawasan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah memberikan peluang besar pada fungsi pengawasan internal oleh APIP dalam menunjang efektivitas dan efisiensi serta ketaatan terhadap peraturan dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun demikian, kewenangan yang luas tersebut belum mampu seluruhnya disikapi atau ditindaklanjuti oleh APIP di daerah. Beberapa hambatan sering terjadi antara lain berupa kesulitas merubah kebiasaan lama dalam sikap prilaku, sistem kinerja institusi, atau bahkan komitmen pimpinan dan aparaparatur pengawasan.
Pada praktiknya, auditor atau pengawas di Inspektorat kabupaten/kota dalam melakukan pengawasan masih cenderung berkutat pada upaya menemukan kesalahan (temuan), masih fokus pada pengeluaran dan pertangungjawaban biaya, belum mengutamakan pada proses perbaikan, inovasi dan efisiensi, masih berperan sebagai detektif bukannya sebagai mitra, fokus pegawasan masih pada kelemahan atau penyimpangan bukan pada upaya konstruktif, serta masalah lainnya seperti pendekatan pengawasan, komunikasi, jenis audit, pendekatan, komunikasi, dan jenjang karir.
Disamping itu, belum adanya suatu forum koordinasi pengawasan yang digendakan secara rutin berpeluang memicu terjadinya penyimpanagan atau kesalahan baik dalam perencanaan penganggaran, pelaksanaan, bahkan pertanggungjawaban dan pelaporan pengelolaan keuangan daerah oleh SKPD.
Terhadap permasalahan tersebut, alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan APIP yaitu:
A.   Upaya mengatasi masalah pergeseran paradigma pengawasan dapat dilakukan melalui upaya sebagai berikut:
  1. Membangun dan meningkatkan komitmen bersama untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif, terukur, sistematis, dan berkesinambungan;
  2.   Meningkatkan kompetensi pengawas melalui bimbingan teknis, diklat dan pelatihan SDM pengawasan;
  3. Mengusulkan peningkatan sarana prasarana pendukung kegiatan pengawasan, seperti rekrutmen auditor, alokasi anggaran, penyediaan alat uji laborat, dan sarana operasional lainnya;
  4. Melakukan Audit Berpeduli Risiko (ABR) yang diawali dengan penyusunan Peta Audit sebagai output dari analisis resiko setiap SKPD dengan berbagai indikator penilaian;
  5. Melakukan pembinaan dan pengawasan (Binwas) kepada seluruh SKPD;
  6. Mendorong berfungsi efektifnya Satgas Sistem Pengendalian internal Pemerintah (SPIP) di setiap SKPD;
B.  Untuk memecahkan masalah kurangnya sinergitas antara SKPD dengan APIP, dapat dilakukan melalui upaya antara lain:
  1. Meningkatkan koordinasi dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan perencanaan penganggaran;
  2.  Meningkatkan peran APIP dalam penyusunan Rancangan APBD;
  3. Megusulkan kepada pimpinan (bupati) untuk dilakukannya reviu terhadap RKA-SKPD, sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan dapat terdeteksi sejak dini;
  4. Meningkatkan peran APIP dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban APBD;
  5. Melaksanakan reviu paralel atas laporan Keuangan Pemerintah Daerah;
  6. Meningkatkan koordinasi dengan BPKP, Inspektorat Propinsi, dan BPK-RI d;lam kerangka menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan dan pengawasan;
  7. Mengembangkan pola kemitraan dengan Bagian Hukum dan Unit Layanan Pengadaan (ULP) dengan tujuan mengantisipasi terjadinya kesalahan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah;
  8. Mengagendakan forum pengawasan rutin pada setiap jenjang proses manajemen, yaitu pada saat perencanaan penganggaran, pelaksanaan kegiatan, monitoring dan evaluasi kegiatan, serta pertanggungjawaban dan pelaporan;





BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    KESIMPULAN
Dengan mengacu pada uraian tersebut, maka dapat kami simpulkan bahwa peran APIP agar mampu menunjang upaya memperoleh Opini ”Wajar Tanpa Pengeualian” harus dilibatkan dalam seluruh rangkaian proses bisnis, mulai dari perencanaan penganggaran sampai dengan pertanggungjawaban dan pelaporan. Sehingga, pada saat dilakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tidak lagi ditemukan kesalahan penganggaran (misalnya belanja modal dianggarkan pada belanja barang jasa atau sebaliknya), tidak ditemukan penyajian yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya (misalnya Konstruksi Dalam Proses), dan tidak ditemukan  penerimaan yang tidak tercatat pada Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), serta tidak  ditemukannya penyajian persediaan yang kurang wajar (utamanya pada BLUD);
Selain itu, untuk mendukung opini WTP, pengawasan oleh Inspektorat harusnya dapat dilakukan untuk kegiatan tahun berjalan, bukan hanya pos audit atau pemeriksaan terhadap kegiatan tahun sebelumnya. Dengan demikian, upaya pencegahan terjadinya penyimpangan dapat dilakukan secara maksimal. Namun, mengingat kenyataan bahwa penyerapan atau realisasi anggaran cenderung menumpuk di akhir tahun, maka upaya tersebut belum bisa dilaksanakan secara maksimal.


B.     SARAN
Oleh karena itu, saran yang dapat kami sampaikan yaitu pelibatan APIP dalam semua rangkaian proses bisnis, dimulai dari perencanaan penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan pengelolaan keuangan daerah hendaknya lebih ditingkatkan pada masa mendatang.



















DAFTAR PUSTAKA
1.      Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 tahun 2011 tentang Kebijakan “Pengawasan” di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri.
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah


Posting Komentar

Back to Top